Selain bakso, menu es kacang ijo plus ketan pun Pak
Mul pelajari dari orang lain. Resep minuman cespleng ini dikulak dari Suradi, anak Kediri yang waktu itu sekolah di Jogja.
Mula-mula pakai juruh gula pasir.
Tetapi karena gula pasir harganya terus melambung, maka juruhnya pun diganti
gula Jawa. Kok dadi tambah jos. Ya sudah, juruh
gula jawa pun dipakai hingga kini.
Minuman
limun saparella pun memiliki jejak panjang di warung ini. Dulu, yang menjadi
andalan adalah limun merek Djangkar dan Hercules. Kini, merek-merek legendaris
tersebut sudah tak diketahui rimbanya. Namun, pecandu limun masih bisa terobati
dahaganya di warung ini. Ya, meski mereknya lain.
Menurut
Pak Mul, masa keemasan Sido Semi adalah saat harga es kacang ijo Rp 20.- Saat
itu, industri kerajinan di Kotagede sedang gayeng-gayengnya.
Setiap Sabtu sore, warung Sido Semi tak pernah berhenti dijubeli pembeli.
Sepeda yang diparkir pun sampai memenuhi separo jalan. Di masa itu, Sido Semi
merupakan tempat melepas penat paling mewah bagi para pekerja Kotagede.
Sebagian besar pelanggan Sido Semi adalah karyawan perusahaan perak dan
kerajinan sungu. Di masa keemasan Kotagede itulah Sido Semi berjaya. “Karena
keadaan yang baik seperti itu, warungnya saya beri nama Sido Semi,” sergah Pak
Mul menerawang masa lalu.
Kini Pak Mul telah tiada. Warung Sido
Semi pun diteruskan oleh cucu-cucunya. Mereka guyup rukun bahu membahu meneruskan warung es yang menjadi ikon
Kotagede ini.
Sumber Bacaan:
1.
Sido Semi, Brosur Lebaran No.39, 2000. Wawancara
Jimy Jeniarto, Endhy Dwi Hartomi, AH.
2.
Mangga Mampir, Syafaruddin Murbawono, 2009.
Repost from kotagedeheritage.org